Justitia Avila Veda, Menyalakan Harapan dari Luka

Posting Komentar
Justitia Avila Veda, Menyalakan Harapan dari Luka

Pagi itu Bandung sedang berkabut. Di sebuah kafe kecil di sudut kota, saya menunggu seseorang yang kisahnya telah lama saya dengar. Namanya Justitia Avila Veda, seorang advokat muda yang dikenal karena keberaniannya memperjuangkan hak-hak penyintas kekerasan seksual. Saya pernah membaca tentangnya di berita dan media sosial, tapi bertemu langsung dengannya memberikan rasa yang berbeda terasa lebih manusiawi, lebih menyentuh.

Ketika Justitia datang, ia mengenakan kemeja putih sederhana. Tatapannya tenang, tapi menyimpan kedalaman yang sulit dijelaskan. Kami berbincang lama pagi itu, dan satu kalimatnya langsung membekas.

“Saya dulu juga penyintas,” katanya pelan.

Kalimat itu terdengar lembut, tapi di dalamnya ada keberanian yang luar biasa. Dari luka yang ia alami, Justitia membangun jalan baru bagi ratusan orang lain yang pernah disakiti dunia.

Luka yang Tak Terlihat


Kekerasan seksual di Indonesia bukan sekadar statistik. Luka sosial yang sering disembunyikan, ditutupi oleh rasa malu dan ketakutan. Data Komnas Perempuan mencatat lebih dari 1.000 kasus kekerasan seksual pada 2023. Sementara KemenPPPA melaporkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun, baik terhadap perempuan maupun anak.

Namun, Justitia mengingatkan saya, angka itu hanya puncak gunung es.

“Banyak korban yang tidak berani bicara,” ujarnya. “Karena setelah kekerasan, mereka juga disakiti oleh pandangan masyarakat dan sistem yang belum berpihak.”

Ia tahu betul rasanya menjadi korban yang tidak didengar. Dari sanalah muncul tekad untuk mengubah sistem, bukan sekadar menuntut pelaku, tapi juga memulihkan penyintas.

Dari Cuitan ke Gerakan

Justitia Avila Veda, Menyalakan Harapan dari Luka


Awal perjuangan Justitia dimulai dengan sesuatu yang sederhana: satu unggahan di Twitter pada 2019.

“Kalau kamu penyintas kekerasan seksual dan butuh bantuan hukum, aku siap bantu gratis.”

Cuitan itu viral. Dalam beberapa hari, ratusan pesan masuk dari berbagai penjuru negeri. Ada korban, ada advokat muda, ada relawan. Dari sana lahirlah Kelompok Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), sebuah jaringan advokat lintas daerah yang kini menjadi salah satu garda depan dalam advokasi kekerasan berbasis gender.

KAKG tidak hanya memberikan pendampingan hukum, tapi juga menghadirkan empati di setiap langkahnya.

“Bagi kami, keadilan tidak boleh hanya bisa diakses oleh yang punya uang,” kata Justitia. “Hukum harus bisa jadi rumah untuk semua orang.”

Sahabat Korban Kekerasan Seksual


Lewat program Sahabat Korban Kekerasan Seksual, KAKG menciptakan sistem pendampingan digital yang mudah diakses penyintas dari mana pun. Mereka menggunakan WhatsApp, email, hingga platform hukum daring seperti Justika untuk membuka ruang konsultasi yang aman dan gratis.

Justitia menjelaskan bahwa sebagian besar kasus yang mereka tangani adalah kekerasan berbasis teknologi, mulai dari pelecehan daring, revenge porn, hingga sextortion.

“Penyintas butuh teman bicara lebih dulu sebelum siap melapor,” katanya. “Dan teknologi membuat kami bisa hadir tanpa batas.”

Dalam tiga tahun, KAKG telah mendampingi lebih dari 150 penyintas, dengan lima kasus besar berhasil diputus di pengadilan. Tak hanya itu, mereka aktif memberi pelatihan anti-kekerasan untuk perusahaan dan lembaga pendidikan, memastikan ruang publik lebih aman untuk semua.

Ketika Hukum Menjadi Pelukan


Saya sempat mengikuti sesi pendampingan daring yang dilakukan KAKG. Di layar, seorang perempuan muda bercerita dengan suara bergetar. Justitia mendengarkan tanpa memotong, tanpa menasehati berlebihan. Ia hanya berkata pelan, “Kamu tidak salah.”

Di situ saya melihat sisi lain dari hukum bukan sekadar pasal dan berkas, tapi ruang penyembuhan.

“Kadang keadilan tidak datang dari vonis hakim,” ujar Justitia. “Tapi dari keberanian korban untuk kembali percaya pada dirinya sendiri.”

Dan di situlah, saya rasa, kekuatan sejati Justitia lahir. Ia menyalakan cahaya di tempat yang selama ini paling gelap di hati para penyintas.

Meski dukungan publik semakin besar, perjuangan KAKG tidak selalu mudah. Proses hukum masih lambat, aparat belum semuanya sensitif gender, dan penyintas kerap menghadapi intimidasi dari pelaku.

“Kadang kami kewalahan,” aku Justitia jujur. “Tapi setiap kali ada satu orang yang bilang, ‘terima kasih karena kalian percaya padaku’, semua rasa lelah itu hilang.”

KAKG kini beranggotakan 16 advokat aktif yang bekerja lintas wilayah, dari Bandung hingga Sulawesi. Mereka bergantian menangani kasus, mengisi webinar edukasi, hingga membuat panduan hukum digital bagi masyarakat.

Gerakan mereka tumbuh tanpa dana besar, hanya modal tekad, solidaritas, dan rasa kemanusiaan.

Pengakuan dari Astra di Tahun 2022

Justitia Avila Veda, Menyalakan Harapan dari Luka

Perjalanan panjang itu akhirnya mendapat pengakuan nasional. Pada 2022, Justitia Avila Veda dianugerahi SATU Indonesia Awards dari Astra di bidang kesehatan. Penghargaan itu bukan hanya simbol, tapi juga bukti bahwa gerak kecil bisa memberi dampak besar.

Bagi Justitia, penghargaan itu adalah panggilan untuk terus melangkah.

“Saya ingin SATU Indonesia Awards jadi pengingat bahwa empati juga bisa menular. Kalau satu orang berani bergerak, yang lain akan ikut,” katanya.

Sejak saat itu, Justitia memperluas kerja sama dengan lembaga psikologi dan universitas, melatih advokat muda, dan mengembangkan sistem pelaporan digital agar penyintas di daerah bisa mendapat bantuan cepat.

Menginginkan Indonesia yang Aman bagi Semua


Ketika saya bertanya tentang mimpinya, Justitia menjawab tanpa ragu. Dia ingin hidup di Indonesia yang aman, bukan hanya untuk perempuan, tapi untuk siapa pun yang rentan terhadap kekerasan.

“Saya ingin anak-anak perempuan bisa tumbuh tanpa takut. Dan laki-laki bisa belajar bahwa kekuatan sejati adalah menghormati,” katanya.

Baginya, perjuangan melawan kekerasan seksual bukan sekadar isu perempuan, tapi isu kemanusiaan. Semua orang bisa berperan, mulai dari menjadi pendengar, pelapor, atau penyebar edukasi di lingkungannya masing-masing.

Menyatukan Gerak, Menebar Cahaya dengan Terus Berdampak


Sore itu kami menutup pertemuan di kafe yang mulai sepi. Justitia menatap ke luar jendela, di mana cahaya matahari sore jatuh lembut di jalan.

“Saya tidak ingin dunia kasihan pada penyintas. Saya ingin dunia menghormati mereka karena mereka bertahan,” katanya pelan.

Saya pulang dengan hati yang penuh. Kisah Justitia Avila Veda bukan hanya kisah tentang hukum atau aktivisme, tapi tentang manusia yang menolak menyerah. Tentang seseorang yang memilih menyalakan lilin, ketika dunia masih sibuk mengutuk gelap.

Satukan gerak, terus berdampak. Meski gerakannya kecil, tapi berdampak sangat besar.

#APA2025-PLM #SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia

Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar